Tuesday, October 20, 2009

[UPDATE] RETRET 2009


* Berangkat dari kampus Pk 19.00 WIB *


Pendaftaran dapat dilakukan di stand KMK di lantai 1 mulai 2 November 2009

Tanggun Jawab Siapa?

Suatu malam, seorang pencuri berusaha memanjat jendela sebuah rumah yang hendak ia curi. Saat diinjak, kusen jendela patah dan pencuri itu jatuh terjerembab di tanah. Kecelakaan itu mematahkan kakinya. Pencuri merasa dirugikan.

Kemudian ia pergi ke pengadilan menuntut si pemilik rumah. Namun si pemilik rumah mengelak. Katanya, "Tuntun saja tukang kayu yang memasang kusen itu". Tukang kayu dipanggil ke pengadilan dan dimintai pertanggungjawaban. Tukang kayu mnenjawab, "Memang kusen itu tidak terpasang dengan baik. Tapi itu bukan salahku. Ini karena tukang batu tidak membuat lubang yang cukup untuk ukuran kusenku".

Ketika tukang batu dipanggil, ia mengelak, "Aku lalai memasang batu sesuai dengan ukuran gara-gara perhatianku terganggu oleh seorang perempuan cantik yang sedang lewat di depan jendela itu". Kemudian dicarilah wanita cantik yang dimaksud. Setelah wanita itu ditemukan, ia menjawab, "Cantik? Biasanya tak seorang pun menaruh perhatian padaku. Waktu itu aku sedang mengenakan pakaian yang indah. Jadi, kesalahannya terletak pada pakaian yang dicelup dalam aneka warna yang indah".

Hakim menghela nafas dan berkata, "Nah, sekarang kita sudah mendapatkan orang yang menjadi sumber semua kejahatan ini". Lalu ia memerintah, "Panggil tukang celup itu. Ia harus bertanggung jawab atas patahnya kaki pencuri ini". Lalu dimulailah pencarian atas tukang celup itu. Mereka menemukan bahwa tukang celup yang dimaksud adalah suami wanita tadi, dan ternyata dia adalah pencuri itu sendiri.

Ini hanyalah perumpamaan. Kemana pun kesalahan disembunyikan, ia takka jauh dari pelakunya.

sumber : Warta Santo Matius

Thursday, October 15, 2009

Cerita Menyentuh Dari India Tentang Kasih

Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran. Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini & bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan. Aku taruh koran & melihat anak perempuanku satu2nya, namanya Sindu tampak ketakutan, air matanya banjir didepannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (nasi khas India /curd rice). Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu & istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada cooling effect.

Aku mengambil mangkok dan berkata Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak2 sama ayah.

Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata boleh ayah akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta agak ragu2 sejenak akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan saya?

Aku menjawab oh pasti, sayang.

Sindu tanya sekali lagi, betul nih ayah?

Yah pasti sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda setuju.

Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, janji kata istriku. Aku sedikit khawatir dan berkata: Sindu jangan minta komputer atau barang2 lain yang mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya uang.

Sindu menjawab : jangan khawatir, Sindu tidak minta barang2 mahal kok. Kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hatiku aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya.

Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin/dibotakin pada hari Minggu. Istriku spontan berkata permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin. Juga ibuku menggerutu jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV dan program2 TV itu sudah merusak kebudayaan kita.
Image

Aku coba membujuk: Sindu kenapa kamu tidak minta hal yang lain kami semua akan sedih melihatmu botak. Tapi Sindu tetap dengan pilihannya, tidak ada yah, tak ada keinginan lain, kata Sindu. Aku coba memohon kepada Sindu : tolonglah kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami.

Sindu dengan menangis berkata : ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan saya. Kenapa ayah sekarang mau menarik/menjilat ludah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi seperti Raja Harishchandra (raja India jaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya rela memberikan tahta, harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.

Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku : janji kita harus ditepati. Secara serentak istri dan ibuku berkata : apakah aku sudah gila? Tidak, jawabku, kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu, permintaanmu akan kami penuhi. Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar dan matanya besar dan bagus.

Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya.

Tiba2 seorang anak laki2 keluar dari mobil sambil berteriak : Sindu tolong tunggu saya. Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki2 itu botak.
Image

Aku berpikir mungkin botak model jaman sekarang. Tanpa memperkenalkan dirinya seorang wanita keluar dari mobil dan berkata: anak anda, Sindu benar2 hebat. Anak laki2 yang jalan bersama-sama dia sekarang, Harish adalah anak saya, dia menderita kanker leukemia. Wanita itu berhenti sejenak, nangis tersedu-sedu, bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, karena pengobatan chemo therapy kepalanya menjadi botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek/dihina oleh teman2 sekelasnya.

Nah Minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya saya betul2 tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.

Aku berdiri terpaku dan aku menangis, malaikat kecilku, tolong ajarkanku tentang kasih.

Tuesday, October 13, 2009

KMK M I S A Jumat, 16 Oktober 2009

Keluarga Mahasiswa Katolik
Universitas Budi Luhur

mengadakan

MISA
Oleh: Rm. Juvens Jemadi, CICM

Jumat, 16 Oktober 2009
Pk 11.30 WIB
Ruang 6.4.1

Tuhan memberkati.

Thursday, October 08, 2009

KMK Jumat, 9 Oktober 2009

Keluarga Mahasiswa Katolik
Universitas Budi Luhur

mengadakan

DOA ROSARIO

Jumat, 9 Oktober 2009
Pk 11.30 WIB
R 6.4.1


Monday, October 05, 2009

Kehidupan Keluarga Bisa Mengalahkan Orang IQ Tertinggi

(Dikutip dari www.swa.co.id yang diilhami dari buku Outliers, Malcolm Gladwell)

Dengan IQ 195, Chris Langan adalah manusia paling jenius di AS (kalau tidak di dunia) saat ini. Sebagai pembanding, IQ seorang Albert Einstein “cuma” 150. Toh, Langan hanya bekerja di bar, kemudian peternakan kuda. Keadaan ini membuktikan bahwa orang paling jenius pun membutuhkan bantuan orang lain untuk sukses.

Lahir pada 1957 di San Francisco sebagai anak tertua dari empat bersaudara yang masing-masing berlainan bapak, Langan tidak hanya hidup dalam kemiskinan, tetapi juga siksaan fisik dan mental dari ayah tiri maupun teman-temannya sendiri. Kendati demikian, bakatnya sudah bersinar sejak bayi. Pada umur 6 bulan, Langan sudah bisa bicara, usia tiga tahun membaca, lima tahun bertanya tentang eksistensi Tuhan kepada kakeknya — dan ingat tak puas dengan jawaban yang diterimanya.

Ketika mulai sekolah, Langan pindah ke Bozeman, Montana. Namun, walau bukan di sekolah bagus, dia mendapat nilai SAT sempurna sehingga ditawari dua beasiswa penuh: satu dari Reed College, Oregon, yang satu lagi dari University of Chicago. Dia memilih Reed (sebuah college liberal, tempat Steve Jobs kuliah selama setahun).

“Itu kesalahan besar,” kata Langan mengenang. “Saya terkena gegar budaya.” Dia yang berambut cepak dan sepanjang musim panas bekerja di peternakan kuda tiba-tiba harus sekelas dengan remaja gondrong yang kebanyakan dari New York. “Jadi, saya banyak sembunyi di perpustakaan.”

Lalu, lanjutnya, “Saya kehilangan beasiswa… Ibu saya seharusnya mengisi financial statement untuk perpanjangan beasiswa saya. Entah bagaimana, dia tidak melakukannya.” Ketika Langan menceritakan kesulitannya ke bagian administrasi, tak seorang pun mau peduli. Marah dengan perlakuan seperti itu, dia hengkang sebelum ujian akhir sehingga transkrip pada semester II itu mendapat F semua — bagai bumi dan langit dengan nilai semester I yang A semua.

Setelah bekerja sebagai kuli bangunan dan pemadam kebakaran hutan selama 1,5 tahun, Langan mendaftar ke Montana State University. “Saya kuliah matematika dan filsafat,” ujarnya. “Lalu, datanglah musim dingin. Saya tinggal 13 mil dari kota, dan mobil saya rusak. Kuliah saya pukul 7.30 dan 8.30.”

Maka, Langan lalu menghadap dosen pembimbing untuk pindah kelas. Permintaannya ditolak. Dia naik banding ke dekan — juga ditolak. Sejak itu, Langan tak kuliah. Dan, tanpa gelar Ph.D., buah pikiran ilmiahnya tak pernah diperhatikan kalangan ilmuwan mana pun.

Gladwell lalu mengontraskan kegagalan Langan dengan kisah sukses Oppenheimer. Melakukan percobaan lab di kelas 3 SD serta belajar fisika dan kimia di kelas 5, bocah jenius ini kuliah di Harvard kemudian Cambridge University untuk gelar Ph.D. di bidang fisika. Di Cambridge, Oppenheimer yang bergulat dengan depresi seumur hidupnya jadi pemberontak.

Ceritanya, bakat Oppenheimer adalah fisika teori, tetapi pembimbingnya memaksa dia ikut fisika eksperimental yang tak disukainya. Suatu hari, karena tak tahan lagi, Oppenheimer mengambil beberapa zat kimia dari lab dan mencoba meracun Patrick Blackett (sang pembimbing yang pada 1948 memenangi Nobel).

Untungnya, Blackett curiga. Oleh universitas. Oppenheimer muda langsung disidang. Hasilnya? Tak kalah mengherankan dibanding kenekatan Oppenheimer meracun pembimbingnya. Anak muda itu hanya diberi peringatan dan harus konsultasi rutin dengan seorang psikiater ternama di London.

Bayangkan, dua orang jenius ? yang satu harus jebol kuliah di sebuah college kecil AS yang bereputasi tinggi (secara teoretis lebih toleran) hanya karena ibunya lupa mengisi formulir, yang satu lagi hanya diberi peringatan oleh sebuah universitas besar Inggris (yang biasanya kaku) walau melakukan percobaan pembunuhan. Alangkah berkuasanya sang nasib. Kisah penunjukan Oppenheimer sebagai scientific director Proyek Manhattan, 20 tahun kemudian, memberikan gambaran lebih jelas tentang perbedaan nasibnya dari Langan.

Jenderal yang jadi penanggung jawab proyek pembuatan bom nuklir pertama AS itu adalah Leslie Groves. Guna memilih project leader, dia keliling negeri menemui para ilmuwan top. Secara teoretis, peluang Oppenheimer junior dibanding para anggota tim¾sangat kecil. Dia baru 38 tahun yang akan dipimpin. Dia juga ahli fisika teori, dan proyek itu terutama dikerjakan para experimenter dan engineer. Afiliasi politiknya pun meragukan, banyak temannya yang komunis. Lagi pula, dia tak punya pengalaman administratif, tidak paham sedikit pun tentang peralatan.

Seorang ilmuwan Berkeley menggambarkan Oppenheimer dengan lebih lugas, “Menjalankan stan hamburger saja dia tidak bisa…” Dan, jangan lupa, dia juga pernah coba membunuh pembimbingnya.

Bisakah orang dengan resumé seperti itu terpilih memimpin pekerjaan terpenting abad ke-20? Nyatanya bisa. Dan, rahasianya, seperti ketika dia lolos dari hukuman di Cambridge.Oppenheimer tahu betul orang kunci untuk Proyek Manhattan itu adalah Groves. Maka, dia mengerahkan segala kelebihan yang dia punya buat menarik hati sang Jenderal. “Dia itu jenius,” ujar Groves. “Betul-betul jenius.”

Groves adalah engineer dengan gelar pascasarjana dari MIT. Sebagai alumni Harvard yang hanya “sepelemparan batu” dari MIT, Oppenheimer paham apa yang menarik bagi Groves. Dan, karena kebetulan dia adalah ilmuwan pertama yang ditemui Groves, kesan yang ditanamkannya menancap dalam di benak sang Jenderal.

Langan tak mampu membawa diri seperti Oppenheimer. Pengalaman hidupnya yang teramat keras tak mengajarkan hal-hal seperti itu. Studi oleh Lewis Termat yang memonitor kehidupan para jenius yang lahir antara 1903 dan 1917 memperkuat bukti bahwa pengalaman ? yang terkait nasib, karena banyak yang tak dapat dielakkan ? sangat menentukan keberhasilan meraih sukses. Keluarga Langan berantakan, ibunya cerai tiga kali. Sang Ibu tak peduli dengan pendidikan anaknya. Sebaliknya Oppenheimer dibesarkan di keluarga yang harmonis.

Pengalaman, bahkan budaya lama, menurut Gladwell memainkan peran penting dalam cara bertindak dan, karenanya, dapat menentukan sukses. Budaya pertanian padi, misalnya, membuat anak-anak Asia selalu mencetak nilai lebih tinggi di bidang matematika ketimbang anak-anak Barat yang berlatar belakang budaya pertanian gandum. Penyebabnya, untuk sukses bertanam padi yang rumit itu diperlukan kerja keras yang panjang, sementara gandum dapat dimekanisasi dan lahannya harus diistirahatkan. Budaya kerja keras berkepanjangan itu membuat anak-anak Asia terbiasa lebih persisten menghadapi soal-soal sulit.

Saturday, October 03, 2009

ANAK KECIL DALAM HUJAN

Malam pukul 21.00. Hujan deras mengguyur. Jalan Veteran terasa sepi dan gelap. Entah mengapa, banyak lampu jalan yang padam. Sementara genangan air nampak mulai memenuhi tepian jalan. Aku lewat amat pelan sambil memperhatikan sekelilingku dengan seksama. Malam itu malam minggu, namun tak nampak orang-orang yang biasa berkumpul untuk menonton balapan liar seperti yang biasa terjadi di malam-malam minggu yang cerah. Dan menjelang perempatan Jalan Landak Baru dan Lama, aku melihat sesosok tubuh seorang anak, usianya mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun, meringkuk di sudut pintu sebuah ruko yang tertutup rapat. Dengan hanya berselimut sebuah kain spanduk, nampak seperti spanduk kampanye seorang calon walikota dalam Pilkada beberapa waktu lalu, anak itu kulihat tertidur dengan nyenyak. Malam yang dingin dan deru hujan yang deras tak sanggup untuk mengganggu keasyikan anak itu dari lelapnya. Aku lewat bersama beberapa kendaraan dan dua buah becak, melintas jauh di tengah jalan, menghindari genangan air di sisinya, sambil melirik ke arah anak itu sekejap. Hanya sekejap. Lalu anak itupun menghilang dari pandanganku.

Jauh meninggalkan anak itu, terlindung dari udara malam yang dingin dan basah, di dalam kamarku yang hangat dan terang, aku kembali memikirkan anak tadi. Siapakah dia? Dimanakah orang tuanya? Saudara-saudarinya? Keluarganya? Mengapa sampai dia harus tertidur di atas trotoar depan sebuah ruko tanpa perlindungan sama sekali? Dimanakah kepedulian mereka-mereka yang mengenalnya? Teman-temannya? Apakah yang diimpikannya saat tertidur lelap dalam hujan dan dingin di sudut pintu depan ruko itu? Pedulikah dia dengan hidupnya? Apakah dia sedih, kecewa dan merasa putus asa menghadapi kehidupannya sendiri? Sendiri? Berapa banyakkah anak-anak lain yang mengalami nasib seperti dirinya? Anak-anak yang mungkin tak diinginkan, disisihkan dan dilupakan oleh kita semua? Yang sesekali mungkin kita sadari keberadaannya saat kita merasa dirugikan oleh tindakan anak-anak yang tersisih itu, saat mereka melakukan hal-hal yang menyentuh kepentingan kita? Namun, jika tidak, tak pernah kita anggap ada dan tak pernah kita pikirkan kesepian-kesepian mereka, kemiskinan-kemiskinan mereka, ketak-berdayaan mereka menghadapi dan menerima hidup yang bagi mereka terasa amat keras dan pahit. Ya, keras dan pahit, jika kita mau memikirkan dan mengambil posisi mereka sekali-sekali saat melihat anak-anak itu berjuang untuk bisa tetap hidup.

Di dalam kamarku yang hangat dan terang, sambil mendengarkan alunan musik dan ditemani secangkir teh hangat, tiba-tiba aku merasa risau dengan hidup ini. Berapa banyakkah rasa sepi dan tak berdaya yang pernah kualami? Berapa banyakkah hasrat dan ambisi yang masih ingin kuraih dan kureguk? Mengapa semuanya terasa tak pernah cukup? Mengapa jika hasrat, ambisi dan cita-cita yang ingin kuraih itu mengalami kegagalan, seringkali aku mengalami kekecewaan, kekesalan dan kemarahan yang membuat aku sedih, tak berdaya dan bahkan terkadang merasa putus asa? Bagaimana pula dengan pemikiran, perasaan dan penghidupan anak kecil yang tadi kulihat di emperan ruko itu? Sedihkah dia? Kecewakah dia? Ataukah ini suatu perbandingan yang tidak masuk akal? Tidak masuk akal? Bukankah anak itu juga seorang anak manusia seperti diriku? Sementara aku berdiam di sebuah rumah yang dapat melindungiku serta menghangatkan tubuhku, jauh dari cucuran air hujan, anak tadi meringkuk dengan lelap walau aku tahu bahwa terkadang tempias air hujan yang turun deras sesekali membasahi tubuhnya yang kecil itu. Membasahi tubuh kecilnya yang menggigil kedinginan tanpa mampu ditemani secangkir teh hangat seperti yang saat ini kuhirup dengan enak. Kuhirup dengan enak dan rakus....

Maka sambil menulis renungan ini, aku mendengarkan suara lirih dari Ralph McTell: �So how can you tell me, you�re lonely. And say for you that the sun don�t shine.... (Streets of London). Ya, bagaimana kita dapat berkata bahwa kita menderita, kita kesepian, kita gagal, kita kalah, kita sakit, kita patah hati, kita putus asa, lalu mungkin ingin menghabisi hidup ini, jika kita tak pernah merasakan kehidupan mereka-mereka yang tak memiliki apa-apa. Mereka-mereka yang setiap malam tak punya tujuan, tak punya kata pulang, tak memiliki perteduhan, tak seorang pun yang menghangatkan hati dan tubuhnya, tak memiliki apa-apa sama sekali. Dan anak kecil dalam hujan tadi masih bisa tertidur dengan nyenak. Nyenyak sekali. Bahkan hujan deras dan dingin pun tak mampu untuk mengusik mimpi-mimpi yang sedang dialaminya. Tidakkah kita pantas memimpikan dia malam ini?